Beranda | Artikel
Biografi Imam Ibnu Al-Jauzi
Kamis, 19 Juni 2025

Beliau adalah As-Syekh, Al-Imam, Al-‘Allamah, Al-Hafizh, Al-Mufassir, Al-Kathiib Jamaluddin Abu Al-Faraj Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Ubaidillah bin Al-Jauzi, nasab beliau bersambung hingga Amirul Mu’minin dan Khalifatu Ar-Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Ibnu Al-Jauzi lahir di kota Baghdad, Irak pada tahun 510 Hijriah.

Masa kecil beliau

Ibnu Al-Jauzi tumbuh sebagai yatim, ayah beliau meninggal dunia ketika beliau berusia 3 tahun, kemudian beliau diasuh oleh bibinya dikarenakan ibunya menikah lagi. Beliau juga sering berpindah-pindah tinggal di antara kerabatnya yang bekerja dalam perdagangan logam tembaga.

Ibnu Al-Jauzi dikenal saleh sejak kecil, fokus membangun dirinya sendiri, tidak bergaul dengan sembarang orang, tidak mengikuti teman-temannya dalam kesenangan dan permainan yang sering kali membuat lalai anak seumurannya. Bibinya mengarahkannya ke jalan ilmu, beliau ber-mulazamah, duduk belajar di Masjid Muhammad bin Nashir Al-Hafizh untuk mendengarkan pelajaran dan hadis. Setelah itu, beliau mendalami ilmu lagi di halaqah Syekh Ibnu Az-Zaghwani, tokoh ulama Hanbali di Irak. Di sanalah bakatnya mulai bersinar dan beliau dapat melampaui teman-teman sebayanya.

Perangai beliau

Ibnu Al-Jauzi memiliki pendirian yang tegas dan sikap terus terang dalam menyampaikan pendapatnya. Beliau juga memiliki kepercayaan diri di dalam mengemukakan pendapat sehingga banyak yang tidak menyukainya karena ketajaman lisannya. Ini berbeda dengan kebanyakan ulama lainnya yang mudah diterima hampir semua orang dan sedikit yang mencelanya.

Ibnu Al-Jauzi juga sangat ambisius. Pada usianya yang cukup muda (belum genap 20 tahun), beliau telah menekuni bidang ceramah (khitabah), seni yang populer di Baghdad pada masa itu. Bahkan beliau melampaui semua orang dan memiliki keunikan tersendiri dalam bidang ceramah sehingga tidak ada yang mampu menandinginya. Baik itu metodenya, gaya, kefasihan, retorika, manisnya tutur kata, keindahan ungkapan, keindahan perumpamaan, kedalaman dalam makna-maknanya yang indah, serta kemampuannya di dalam memberikan pendekatan pemahaman tentang hal-hal asing melalui contoh-contoh yang dapat dirasakan dan disaksikan, dengan ungkapan yang paling mudah dan ringkas. Hingga beliau menjadi sosok nomer wahid di bidang seni ceramah tatkala itu.

Orang-orang berbondong-bondong menghadiri majelisnya, termasuk juga para khalifah, para menteri, pembesar, amir, ulama, orang kaya, dan orang miskin, semuanya sama-sama datang menghadiri majelisnya. Bahkan, jumlah orang yang hadir dalam satu kali majelisnya dapat mencapai puluhan ribu.

Keilmuan beliau

Meskipun beliau mahir dan memiliki keunikan dalam seni ceramah, beliau juga memiliki kontribusi yang besar dalam berbagai bidang ilmu lainnya, di antaranya: beliau hafal Al-Qur’an dan juga menghafal banyak hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam; beliau memiliki keahlian mendalam dalam bidang tafsir, sejarah, dan fikih, serta pemahaman yang baik dalam bidang hadis, hisab (ilmu perhitungan), falak (astronomi), dan kedokteran. Dalam setiap bidang ilmu tersebut, beliau memiliki beberapa karya tulis. Karena hal tersebut, beliau pun menjadi pemimpin ulama Irak pada zamannya.

Karya-karya beliau

Ibnu Al-Jauzi merupakan salah satu ulama ensiklopedis terbesar dalam umat Islam. Beliau memiliki pengetahuan yang sangat luas dalam berbagai bidang ilmu. Kontribusi beliau dalam karya tulis sangatlah banyak, jumlahnya mencapai lebih dari 300 karya. Hampir di setiap bidang ilmu beliau memiliki beberapa karya tulis. Di antara karya-karya beliau yang paling terkenal adalah:

  1. Zaad Al-Masiir fi At-Tafsir (Bekal Perjalanan dalam Ilmu Tafsir), kitab ini telah dicetak dan beredar luas.
  2. Al-Muntazham fi At-Tarikh (karya tulis dalam bidang sejarah), salah satu kitab sejarah yang terkenal dan komprehensif, melengkapi kitab Tarikh Ar-Rusul wa Al-Muluk (Sejarah Para Rasul dan Raja-raja) karya Ath-Thabari.
  3. Al-Maudhu’aat fi Al-Hadits (Hadis-hadis Palsu); beliau adalah orang pertama yang mengkhususkan hadis-hadis palsu dalam satu karya tulis, dan para ulama setelah beliau banyak yang mengikuti jejak beliau dalam hal ini.
  4. Shifat Ash-Shafwah fi Akhbar Ash-Shahabah wa At-Tabi’in wa Man Ja’a Ba’dahum min Thabaqat Al-Qurun Ats-Tsalats Al-Fadhilah (Sifat Orang-Orang Pilihan Tentang Para Sahabat, Tabi’in, dan Generasi Setelah Mereka dari Tiga Generasi Utama).
  5. Talbis Iblis fi Kasyf Fadha’ih Ash-Shufiyah (Tipu Daya Iblis dalam Mengungkap Kejelekan Kaum Sufi).
  6. Shaidul Khathir fi Al-Latha’if wa Al-Isyarat.
  7. Minhaj Al-Qashidin, merupakan ringkasan yang bagus dari kitab Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali rahimahullah.

Dan masih banyak lagi karya-karya beliau lainnya. Banyak pula kitab-kitab beliau yang hilang dalam musibah yang menimpanya, yaitu ketika putranya yang durhaka, Abu Al-Qasim Ali, menjual karya-karya beliau dalam jumlah besar layaknya menjual budak kepada penawar tertinggi. Namun, sebagian besar karya ilmiah beliau telah dicetak dan beredar luas, dan berkat karunia Allah ‘Azza wa Jalla, orang-orang masih mengambil manfaat dari ilmunya dan mempelajarinya.

Pujian para ulama kepadanya

Meskipun Ibnu Al-Jauzi memiliki banyak musuh karena ketajaman lisannya, kekuatan kritiknya, dan terusterangnya beliau dalam menyampaikan pendapatnya, semua itu tidak mengurangi penghargaan dan penghormatan orang-orang terhadap ilmu beliau, keutamaan beliau, dan kedalaman beliau dalam berbagai bidang ilmu. Berikut ini adalah beberapa perkataan ulama dan pujian mereka kepada beliau rahimahullah.

Abu Abdullah Ad-Dubaiti rahimahullah berkata dalam kitab “Tarikh”-nya,

شيخنا جمال الدين صاحب التصانيف في فنون العلوم: من التفسير والفقه والحديث والتواريخ وغير ذلك، وإليه انتهت معرفة الحديث وعلومه، والوقوف على صحيحه من سقيمه، وكان من أحسن الناس كلامًا، وأتمهم نظامًا، وأعذبهم لسانًا، وأجودهم بيانًا، وبورك له في عمره وعمله

“Syekh kami, Jamaluddin, merupakan penulis dari banyak karya tulis di berbagai bidang ilmu, seperti tafsir, fikih, hadis, sejarah, dan berbagai bidang keilmuan lainnya. Beliau memiliki pengetahuan tentang hadis dan ulum hadis, serta pencukupan beliau pada hadis yang sahih dari yang dha’if. Beliau adalah orang yang paling baik perkataannya, paling sempurna susunan kalimatnya, paling murni lisannya, dan paling bagus penjelasannya. Beliau diberkahi dalam usia dan karyanya.” (Dzail Tabaqat Hanabilah Li Ibni Rajab, 1: 411)

Al-Muwaffaq Abdul Lathif Al-Maqdisi rahimahullah berkata,

كان ابن الجوزي لطيف الصورة، حلو الشمائل، رخيم النغمة، موزون الحركات والنغمات، لذيذ المفاكهة، يحضر مجلسه مائة ألف أو يزيدون، لا يضيع من زمانه شيئًا، يكتب في اليوم أربع كراريس، وله في كل علم مشاركة، لكنه كان في التفسير من الأعيان، وفي الحديث من الحفاظ، وفي التاريخ من المتوسعين، ولديه فقه كاف، وأما السجع الوعظي فله فيه ملكة قوية

“Ibnu Al-Jauzi memiliki paras yang menawan, memiliki budi pekerti yang baik, memiliki nada suara yang merdu, gerakan dan intonasi yang teratur, dan pembicaraan yang menyenangkan. Majelisnya dihadiri oleh ratusan ribu orang. Beliau tidak pernah menyia-nyiakan waktunya sedikit pun, menulis empat lembar kertas setiap hari. Beliau memiliki partisipasi dalam setiap ilmu, namun beliau sangat menonjol dalam tafsir, termasuk golongan huffazh hadits (penghafal hadis), dan sangat luas pengetahuannya dalam sejarah. Beliau juga memiliki pemahaman fikih yang memadai; dan dalam sajak-sajak ceramah, beliau sangat ahli.” (Dzail Tabaqat Hanabilah Li Ibni Rajab, 1: 412)

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah berkata,

ابن الجوزي إمام أهل عصره في الوعظ، وصنف في فنون العلم تصانيف حسنة، وكان صاحب فنون، كان يصنف في الفقه، ويدرس وكان حافظًا للحديث، إلا أننا لم نرض تصانيفه في السنة، ذلك أن ابن الجوزي قد خالف الحنابلة في الكثير من مسائل الاعتقاد، حتى جلب على نفسه كثيرًا من المشاكل

“Ibnu Al-Jauzi adalah imam yang kompeten dalam bidang ceramah, dan beliau menulis karya-karya yang bagus dalam berbagai bidang ilmu. Beliau adalah seorang yang memiliki banyak keilmuan, menulis dalam bidang fikih, mengajar, dan hafal hadis. Hanya saja, kami tidak menyetujui karya-karya beliau dalam bidang sunah (akidah), karena Ibnu Al-Jauzi telah menyalahi mazhab Hanbali dalam banyak masalah akidah, hingga menimbulkan banyak masalah bagi dirinya.” (Siyar A’lam Nubala’ Li Adz-Dzahabi, 21: 381)

Baca juga: Biografi Imam Al-Qurthubi

Cobaan dan ujian yang beliau hadapi

Di dalam kitab Siyar A’lam Nubala’, Adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan kisah cobaan yang menimpa Ibnu Al-Jauzi tatkala itu. Dan itu disebabkan dua hal,

Pertama, berkaitan dengan suasana yang dominan di Baghdad selama abad keenam Hijriah;

Kedua, berkaitan dengan watak pribadi Ibnu Al-Jauzi, yang mewariskan permusuhan dan kebencian dari banyak orang.

Hingga di akhir usianya, yakni pada masa An-Nashir Lidinillah Al-Abbasi naik menjadi khalifah pada tahun 575 Hijriah, Khalifah An-Nashir mengambil jalan berbeda dari jalan hidup ayah dan kakeknya. Karena ia adalah khalifah Abbasiyah pertama dan terakhir yang menganut Syiah, menampakkannya, dan menyatakannya secara terang-terangan.

Ia berusaha merangkul kuat kaum Syiah, mempekerjakan mereka dalam berbagai aspek, membuat tokoh-tokoh Ahlus sunah, termasuk di antaranya Ibnu Al-Jauzi menjadi tersingkirkan. Musuh-musuh Ibnu Al-Jauzi memanfaatkan kesempatan ini dan merencanakan sebuah rencana untuk menjatuhkannya.

Musuh sebenarnya Syekh Ibnu Al-Jauzi ialah seorang pria bernama Ar-Rukn Abdussalam bin Abdul Wahhab, cucu dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Para putra dan cucu Syekh Abdul Qadir sangat membenci Ibnu Al-Jauzi karena beliau terus-menerus mengkritisi Syekh Abdul Qadir. Meskipun demikian, alasan utama Ar-Rukn Abdussalam sangat membenci Ibnu Al-Jauzi adalah karena alasan lainnya, yaitu kesesatannya dan kefasikannya. Ar-Rukn menganut mazhab filsuf, dan gemar menenggak minuman keras. Ditambah lagi, Ibnu Al-Jauzi suatu ketika pernah diminta fatwa untuk membakar kitab-kitab Ar-Rukn, hingga akhirnya kitabnya dibakar dan dilarang beredar. Sekolah kakeknya pun diambil, lalu diberikan kepada Ibnu Al-Jauzi. Karena hal itu, ia merasa dendam dan memutuskan untuk menjatuhkan Syekh Ibnu Al-Jauzi.

Puncak cobaan beliau, orang yang bersekongkol dengan Ar-Rukn Abdussalam melawan Ibnu Al-Jauzi ternyata adalah orang terdekat Ibnu Al-Jauzi sendiri, yaitu putra sulungnya, Abu Al-Qasim Ali. Dia adalah orang yang bejat, fasik, teman bermaksiat, dan mabuk-mabukan. Ia durhaka kepada ayahnya. Ayahnya serta saudara-saudaranya telah menjauhinya karena buruknya akhlak dan perbuatannya. Maka, Abu Al-Qasim Ali bersekongkol dengan Ar-Rukn Abdussalam untuk mencelakai ayahnya sendiri. Pengkhianatan yang paling menyakitkan adalah tatkala Abu Al-Qasim Ali, putra yang durhaka dan fasik itu menjual kitab-kitab ayahnya dalam jumlah besar, ratusan jilid di berbagai bidang ilmu, dan. Hasil penjualannya ia gunakan untuk minum khamr, dan dirinya terang-terangan melakukan perbuatan keji dan hina itu, sementara tatkala itu ayahnya sedang diasingkan.

Kisah pengasingan beliau rahimahullah bermula saat jabatan menteri dipegang oleh seseorang yang menganut Syiah bernama Ibnu Qashab, yang merupakan teman Ar-Rukn Abdussalam karena kesamaan akidahnya. Ia berusaha mempengaruhi Khalifah An-Nashir Al-Abbasi untuk menjatuhkan Ibnu Al-Jauzi. Hingga akhirnya pada tahun 590 Hijriah, Khalifah pun terpengaruh dan menyerahkan urusan tindakannya kepada menteri Ibnu Qashab, lalu menteri Ibnul Qashab menyerahkan urusan Syekh Ibnu Al-Jauzi kepada Ar-Rukn Abdussalam. Ar-Rukn pergi ke rumah beliau ditemani banyak pengawal dan putra-putra Syekh Abdul Qadir, mereka menghina dan mencaci maki Ibnu Al-Jauzi, lalu menariknya dengan kasar dari tengah-tengah keluarganya. Mereka menyegel rumahnya, menaikkan beliau ke perahu kecil, lalu mengasingkan beliau ke kota Wasith. Di sana, beliau dipenjara di rumah sempit tanpa seorang pun yang melayaninya. Padahal saat itu beliau sudah lanjut usia, usianya telah mencapai 80 tahun. Beliau tinggal sendirian, memasak untuk dirinya sendiri, mencuci pakaiannya sendiri, dilarang bertemu dengan orang lain, dan dilarang untuk berceramah seperti biasanya. Beliau mengalami cobaan itu selama 5 tahun lamanya.

Belum juga puas menyiksa dan mengasingkan Ibnu Al-Jauzi, Ar-Rukn Abdussalam bahkan sempat meminta gubernur Wasith, yang juga merupakan orang Syiah, untuk membunuh Ibnu Al-Jauzi. Akan tetapi, gubernur itu berkata kepada Ar-Rukn, “Wahai zindiq, apakah aku akan melakukan ini hanya karena perkataanmu? Bawa surat perintah Amirul Mukminin. Demi Allah, seandainya beliau (Ibnu Al-Jauzi) seagama denganku, niscaya aku akan mengorbankan jiwaku untuk melayaninya.” Usaha Ar-Rukn pun sia-sia.

Al-‘Allamah Ibnu Al-Jauzi, berhasil menaklukkan cobaan yang menyakitkan itu, dan mengubah cobaan tersebut menjadi pelajaran yang agung, beliau memanfaatkan lima tahun tersebut untuk membaca kitab-kitab hadis dan membaca Al-Qur’an dengan 10 qira’at di bawah bimbingan Syekh Ibnu Al-Baqilani. Beliau menunjukkan semangat yang tinggi dalam hal itu, hingga berhasil menghafal 10 qira’at di usia 84 tahun.

Pada tahun 595 Hijriah, Allah ‘Azza wa Jalla mengizinkannya untuk keluar dari cobaan, melalui syafaat dari ibu Khalifah An-Nashir Al-Abbasi. Ibnu Al-Jauzi dapat kembali dari pengasingannya di Wasith ke Baghdad, beliau juga diizinkan untuk berceramah seperti sebelumnya. Beliau kembali ke kedudukan dan kemuliaannya. Khalifah Abbasiyah sendiri menghadiri majelis ceramah pertamanya.

Wafatnya

Setelah Allah kembalikan kemuliaan dan kehormatannya, Ibnu Al-Jauzi jatuh sakit, lalu meninggal dunia pada malam Jum’at, 12 Ramadan tahun 597 Hijriah. Beliau dimakamkan di Babharb.

Semoga Allah merahmatinya, mengampuninya, dan memaafkan kekeliruan yang telah beliau lakukan.

Baca juga: Biografi Abdullah bin Al-Mubarak

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Artikel Muslim.or.id


Artikel asli: https://muslim.or.id/106138-biografi-imam-ibnu-al-jauzi.html